Rabu, 16 Oktober 2013

GADAI (RAHN)


MAKALAH
Gadai (rahn)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah
“Desain Kontrak Perjanjian Syariah”
Dosen Pembimbing:
Zulfatun Ni’mah, M.Hum



 


Disusun oleh: kelompok 08
Ahmad Nizar                                 : 3223113004
Ana Prastiwi                                  : 3223113007
Elsa Almaratus Sholekhah           : 3223113032
M u’ a l I f a h                               : 3223113067

Perbankan Syariah (5A)                                                                            
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG  

TAHUN AJARAN 2012/2013




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Rahn
Rahn menurut bahasa berarti ats-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Secara istilah,rahn yaitu menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu maka sebagian atau bahkan seluruh utang dapat dilunasi.[1]
Menurut  Imam Abu Zakariya Al Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari (harga) benda (marhun) itu apabila marhun bih tidak dibayar. Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al Husaini mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjualbelikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, rahn itu merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.[2]

B.  Dasar Hukum Gadai (Rahn)
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam, diatur dalam Al-Quran, sunnah dan ijtihad.
a.    Al-Quran
Ayat Al-Quran yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 282:
               hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....”




b.    As-Sunnah
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasululloh membeli makanan dari seorang Yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi.(HR.Bukhari Muslim). Dari Abu Hurairah r.a Nabi SAW bersabda : tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. (HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah)
c.    Ijtihad
 Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.

C.  Rukun dan Syarat Gadai
1.    Ijab qabul (sighot)
2.    Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai adalah:
§  Telah dewasa
§  Berakal
§  Atas keinginan sendiri.[3]
Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.[4]
3.    Adanya barang yang digadaikan (marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin adalah:
§  Dapat diserah terimakan
§  Bermanfaat
§  Milik rahin
§  Jelas
§  Tidak bersatu dengan harta lain
§  Dikuasai oleh rahin
§  Harta yang tetap atau dapat dipindah.
4.    Marhun bih (utang)
Menurut ulama Hanafiah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
§  Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan
§  Utang harus lazim pada waktu akad
§  Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.[5]

D.  Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantaranya jumhur fuqaha dan Ahmad.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengijinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Rasul bersabda:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَّا (رواه الحارث بن أبى أ سا مة)
“setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” (Riwayat Harits bin Abi Usamah)
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, bahwa jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasul bersabda:
اَلظَّهْرُ يُرْ كبُ أذَا كَا نُ مَرُ هُوْ نًا وَ لَبَنُ الدَّ رِّ يَشْرَ بُ إِذَا كَا نَ مَرُ هُوْ نًا وَعَلَى الَّذِىْ يَرْ كَبُ وَ يَشْرَبُ نَفَقَتُهُ (رواه البخا رى)
“binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib memberikan biaya”.[6]
Adapun dalam hal rahin yang memanfaatkan barang, pandangan ulama terbagi menjadi dua kelompok. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang yang dijadikan agunan. Namun mereka memberikan perkecualian yaitu apabila murtahin memberikan izin kepadanya, maka dia (rahin) dapat menggunakan (memanfaatkan) barang tersebut. Adapun ulama Syfi’iyah berpendapat sebaliknya, yaitu rahin sebagai pemilik barang boleh memanfaatkan selama tidak memudharatkan murtahin. Arti memudharatkan yang dimaksud adalah apabila barang tersebut menjadi rusak dan tidak berfungsi lagi.[7]

E.  Resiko Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau kerena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, maka bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.[8]

F.   Hak dan Kewajiban Para Pihak Gadai Syariah
Menurut Abdul Aziz Dahlan, bahwa pihak rahin dan murtahin, mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sedangkan hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut:
1.    Hak dan kewajiban murtahin
a.    Hak pemegang gadai
§ Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang.
§ Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.
§ Selama marhun bih belum dilunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai.
b.    Kewajiban pemegang gadai
§ Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalaiannya.
§ Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan marhun utuk kepentingan sendiri
§ Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada rahin sebelum diadakan pelelangan marhun.
2.    Hak dan kewajiban pemberi gadai syariah
a.    Hak pemberi gadai
§ Pemberi gadai berhak untuk mendaptkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih.
§ Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin.
§ Pemberi gadai berhak untuk mendaptkan sisa dari penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya.
§ Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun.
b.    Kewajiban pemberi gadai
§ Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimanya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin.
§ Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.[9]

G. Kelebihan dan Kekurangan Gadai Syariah
Berdasarkan analisa SWOT, dapat dilihat kelebihan maupun kekurangan gadai syariah apabila dibandingkan pegadaian konvensional. Hasil analisa SWOT tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Kekuatan (Strenght) gadai syariah, bersumber dari :
a.    Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia
b.    Dukungan lembaga keuangan Islam di seluruh dunia
c.    Pemberian pinjaman lunak qardhul hasan dan pinjaman/pembiayaan mudhorobah dan ba’I al-muqayadah dengan sistem bagi hasil pada gadai syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
2.    Kelemahan (Weakness) gadai syariah, adalah :
a.    Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagi hasi adalah jujur, yang hal ini akan menjadi bumerang bagi lembaga gadai syariah.
b.    Memerlukan metode penghitungan yang rumit, apabila digunakan bagi hasil terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan pembagian laba untuk nasabah-nasabah kecil.
c.    Karena menggunakan konsep bagi hasil, pegadaian syariah lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga professional yang handal.
d.   Keterbatasan murtahin yang dapat dijadikan jaminan.
e.    Memerlukan adanya seperangkat peraturan dalam pelaksanaannya untuk pembinaan dan pengawasannya.
3.    Peluang (Opportunity) gadai syariah adalah :
a.    Munculnya berbagai lembaga bisnis syariah (lembaga keuangan syariah).
b.    Adanya peluang ekonomi bagi berkembangnya pegadaian syariah.
4.    Ancaman (Threath) gadai syariah adalah :
a.    Dianggap adanya fanatisme agama.
b.    Susahnya untuk menghilangkan mekanisme ‘bunga’ yang sudah mengakar dan menguntungkan bagi sebagian kecil golongan umat Islam.[10]

H.  Berahhirnya Akad Rahn
Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayaran utang telah terlewati maka si berhutang berkewajiban untuk membayar hutangnya. Namun seandainya si berhutang tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan ijin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian. Dan seandainya ijin ini tidak diberikan oleh si pemberi gadai maka si penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa si pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau memberikan ijin kepada si penerima gadai untuk menjual barang gadaian tersebut.
Apabila pemegang gadai telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh si penggadai, maka kelebihan tersebut harus diberikan kepada si penggadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang si penggadai, maka si penggadai masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya. Sebagaimana sabda Rasululloh SAW :
Rahn itu tidak boleh dimiliki. Rahn itu milik orang yang menggadaikan. Ia berhak atas keuntungan dan kerugiannya.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
Dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut :
1.    Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
2.    Rahin membayar hutangnya.
3.    Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin.
4.    Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.[11]  

I. Dialog Gadai (Rahin dan Murtahin)
Dialog
Murtahin : Assalamualaikum,,selamat datang di pegadaian syariah, dengan saya mu’alifah, dengan bapak siapa? ada yang bisa saya bantu pak?
Rahin       : wa’alaikum salam,saya Nizar. saya ingin menggadaikan kendaraan bermotor, kira-kira persyaratan apa saja yang harus saya penuhi?
Murtahin : persyaratan yang harus bapak penuhi yaitu :
1. mengisi formulir yang telah disediakan di pegadaian ini
2. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) asli,
3. Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) Nomor: ( 9622901) dari sepeda motor yang dimaksud,
4.Foto kopi Tanda Penduduk (KTP)
Rahin       : kira-kira kendaraan ini dengan pegadaian syariah ditaksir dengan harga berapa?
Murtahin : kami bisa membiayai dengan harga Rp. 7.000.000,00 yang sesuai dengan kendaraan bapak.
Rahin       : kira-kira dalam jangka waktu berapa lama pengambilan jaminan tersebut?
Murtahin : dengan harga Rp. 7.000.000 kami memberi jangka waktu 3 tahun 2 bulan, dengan angsuran Rp. 184.211,00 per bulan.
Rahin       : baik, saya menyetujui akad ini
Murtahin : terimakasih telah mempercayai kami, silakan datang kembali. Assalamualikum

J. Contoh Surat Perjanjian Gadai

CONTOH SURAT PERJANJIAN
GADAI ( MOTOR)

Yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : Ahmad Nizar

Umur : 20 tahun
Pekerjaan : swasta
Alamat : Kedungwaru-Tulungagung
Nomer KTP / SIM : 9987067342150
Telepon : 081888990675
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
2. Nama : Mu’alifah

Umur : 22tahun
Pekerjaan : swasta
Alamat : Plosokandang-Tulungagung
Nomer KTP / SIM : 62233435679870
Telepon : 085333456789
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA

PIHAK PERTAMA telah setuju untuk menggadaikan kepada PIHAK KEDUA sebuah kendaraan bermotor beserta Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) lengkap dengan BPKB.
Kedua belah pihak dengan ini menerangkan bahwa PIHAK PERTAMA selaku pemilik sah telah setuju untuk menggadaikan kepada PIHAK KEDUA barang berupa:
1. Jenis kendaraan : SEPEDA MOTOR
2. Nomor Polisi : AG 3343 LA
3. Merek / Type : Honda / SupraX 125R
4. Tahun pembuatan : 2009
5. Nomor rangka : MI3GL33323J76543
6. Nomor mesin : BL76F1243L9807
7. Warna : Hitam
8. Jumlah barang : 1 (satu)
9. Kondisi barang : BAIK

Selanjutnya kedua belah pihak bersepakat bahwa Perjanjian Gadai sepeda motor antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA ini berlaku sejak tanggal penandatanganan surat perjanjian ini dimana syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan dalam surat perjanjian ini diatur dalam 7 (tujuh) pasal, sebagai berikut:
PASAL 1
TUJUAN PENGGADAIAN
PIHAK PERTAMA menggadaikan sepeda motor miliknya kepada PIHAK KEDUA untuk mendapatkan sejumlah uang yang akan digunakannya untuk usaha ternak ayam

PASAL 2
JAMINAN
PIHAK PERTAMA memberikan jaminannya bahwa sepeda motor yang digadaikannya adalah benar-benar milik sahnya sendiri, tidak ada orang atau pihak lain yang turut memilikinya, tidak atau belum pernah dijual atau dipindahkan haknya atau dijaminkan kepada pihak lain dengan cara bagaimanapun juga.





PASAL 3
SAKSI-SAKSI
Ayat 1
Keterangan PIHAK PERTAMA seperti yang tertulis dalam pasal 2 Surat Perjanjian ini diperkuatoleh 2 (dua) orang saksi.

Ayat 2
Kedua orang saksi tersebut adalah:
N a m a : Ana Prastiwi
P e k e r j a a n : Swasta
Alamat lengkap : Plosokandang-Tulungagung
Hub. Kekerabatan : Tetangga PIHAK PERTAMA

N a m a : Elsa Almaratus Sholekhah
P e k e r j a a n : Swasta
Alamat lengkap : Plosokandang-Tulungagung
Hub. Kekerabatan : Saudara PIHAK PERTAMA

Ayat 3
Kedua orang saksi tersebut turut menandatangani Surat Perjanjian ini.

PASAL 4
JANGKA WAKTU
Ayat 1
Masa berlakunya perjanjian gadai ini dilangsungkan untuk jangka waktu 3tahun 2 bulan, terhitung sejak tanggal ( 16 Oktober 2013 ) dan berakhir pada tanggal (16 Desember 2016 ).

Ayat 2
Sebelum jangka waktu gadai ini berakhir, PIHAK KEDUA sama sekali tidak dibenarkan meminta PIHAK PERTAMA untuk mengakhiri jangka waktu gadai kecuali terdapat kesepakatan di antara kedua belah pihak.



PASAL 5
NILAI GADAI
Kedua belah pihak telah sepakat pada nilai gadai sepeda motor tersebut, yakni sebesar (Rp. 7.000.000,00) Tujuh Juta Rupiah

PENYERAHAN DARI PIHAK PERTAMA
Ayat 1
Setelah ditandatanganinya Surat Perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA akan menyerahkan sepeda motor kepada PIHAK KEDUA.

Ayat 2
Selain sepeda motor, PIHAK PERTAMA juga menyerahkan:
1. Kunci kontak,
2. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) asli,
3. Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) Nomor: ( 9622901) dari sepeda motor yang dimaksud,
4.Foto kopi Tanda Penduduk (KTP) atas nama PIHAK PERTAMA.

PASAL 9
PENYERAHAN DARI PIHAK KEDUA
Ayat 1
Setelah ditandatanganinya Surat Perjanjian ini, maka PIHAK KEDUA akan menyerahkan uang sebesar RP. 7.000.000,00 (Tujuh Juta Rupiah) kepada PIHAK PERTAMA.
Ayat 2
Dengan penyerahan uang tersebut maka Surat Perjanjian ini berlaku sebagai tanda bukti pembayaran yang sah atas uang gadai sepeda motor termaksud.

PASAL 10
TANGGUNG JAWAB PIHAK KEDUA
Ayat 1
Selama sepeda motor dipegang oleh PIHAK KEDUA, maka PIHAK KEDUA bertanggung jawab penuh untuk merawat dan menjaga keutuhan serta kebaikan kondisi sepeda motor tersebut dalam keadaan yang baik.
Ayat 2
Biaya untuk pelaksanaan ayat 1 tersebut di atas sepenuhnya dibebankan kepada PIHAK KEDUA.

( Tulungagung, 16 Oktober 2013)

PIHAK PERTAMA                                                                  PIHAK KEDUA
[ Ahmad Nizar]                                                                        [ m u’ a l I f a h ]


SAKSI-SAKSI:
[ Ana Prastiwi]                                                                          [ Elsa Almaratus Sholekhah ]











BAB III
PENUTUP

*   Kesimpulan
Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengeluarkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadaian syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam, diatur dalam Al-Quran, sunnah dan ijtihad.
Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayaran utang telah terlewati maka si berhutang berkewajiban untuk membayar hutangnya. Namun seandainya si berhutang tidak punya kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan ijin kepada pemegang gadai untuk menjual barang gadaian. Dan seandainya ijin ini tidak diberikan oleh si pemberi gadai maka si penerima gadai dapat meminta pertolongan hakim untuk memaksa si pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau memberikan ijin kepada si penerima gadai untuk menjual barang gadaian tersebut.


DAFTAR PUSTAKA


Anshori, Abdul Ghofur, 2006, Gadai Syariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Huda, Qomarul, 2011, Fiqh Muamalah, Yogyakarta : Teras.
Rais, Sasli, 2005, Pegadaian Syariah : Konsep dan Sistem Operasionalnya (Suatu Kajian Kontemporer), Jakarta : UI-Press.
Suhendi, Hendi, 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Suwiknyo, Dwi, 2010, Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.














[1] Dwi Suwiknyo, Ayat-Ayat Ekonomi Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2010),hlm.240
[2] Sasli Rais, Pegadaian Syariah : Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer)(Jakarta : UI-Press,2005),hlm.38-39
[3] Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia,hlm.89-92
[4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2002),hlm.107
[5] Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, hlm.92
[6] Hedi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm.108-109

[7] Qomarul Huda, Fiqh Muamalah (Yogyakarta : Teras,2011),hlm.96
[8] Ibid, hlm.109
[9] Sasli Rais, Pegadaian Syariah : Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer),hlm.44-46
[10] Ibid, hlm.47-49
[11] Abdul Ghofur Anshori, Gadai syariah di Indonesia, hlm.96-98